Thursday, April 23, 2015

MAKALAH PENILAIAN KINERJA



BAB 1
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Sumber daya manusia merupakan salah satu sumber keunggulan kompetitif dan elemen kunci yang penting untuk meraih kesuksesan dalam bersaing untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, pengelolaan sumber daya manusia bagi organisasi hal yang penting bagi pelayanan kepada masyarakat. Sumber daya manusia adalah bagian dari manajemen. Yang merupakan unsur manajemen yang di dalamnya terdapat tenaga kerja pada perusahaan. Manusia selalu  aktif dan dominan dalam setiap kegiatan organisasi, karena manusia menjadi perencana, pelaku dan penentu terwujudnya tujuan organisasi. 
Tujuan tidak mungkin terwujud tanpa peran aktif karyawan meskipun alat-alat yang dimiliki perusahaan begitu canggihnya. Alat-alat canggih yang dimiliki perusahaan tidak ada manfaatnya bagi perusahaan. Jika peran aktif karyawan tidak diikut sertakan. Mengatur karyawan adalah sulit dan kompleks, karena mereka mempuyai pikiran, perasaan, status, keinginan, dan latar belakang yang heterogen yang dibawa ke dalam organisasi. Karyawan tidak dapat diatur dan dikuasai sepenuhnya seperti mengatur mesin, modal, atau gedung.

1.2  Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian  penilaian kinerja?
2.      Apa Tujuan dan Manfaat Penilaian Kinerja?
3.      Apa saja Elemen Penilaian Kinerja?
4.      Apa Metode Penilaian Kinerja?
5.      Apa saja Masalah-Masalah dalam Penilaian Kinerja?

1.3  Tujuan
Untuk mengetahui segala hal dan penjelasan yang di bahas mengenai Penilaian Kinerja


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Penilaian Kinerja
Ø  Penilaian prestasi kerja menurut Utomo, Tri Widodo W. adalah proses untuk mengukur prestasi kerja pegawai berdasarkan peraturan yang telah ditetapkan, dengan cara membandingkan sasaran (hasil kerjanya) dengan persyaratan deskripsi pekerjaan yaitu standar pekerjaan yang telah ditetapkan selama periode tertentu. Standar kerja tersebut dapat dibuat baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Ø  Penilaian kinerja menurut Mondy dan Noe (1993:394) merupakan suatu sistem formal yang secara berkala digunakan untuk mengevaluasi kinerja individu dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Ø  Sedangkan Mejia, dkk (2004:222-223) mengungkapkan bahwa penilaian kinerja merupakan suatu proses yang terdiri dari:
1.      Identifikasi, yaitu menentukan faktor-faktor kinerja yang berpengaruh terhadap kesuksesan suatu organisasi. Hal ini dapat dilakukan dengan mengacu pada hasil analisa jabatan.
2.      Pengukuran, merupakan inti dari proses sistem penilaian kinerja. Pada proses ini, pihak manajemen menentukan kinerja pegawai yang bagaimana yang termasuk baik dan buruk. Manajemen dalam suatu organisasi harus melakukan perbandingan dengan nilai-nilai standar atau memperbandingkan kinerja antar pegawai yang memiliki kesamaan tugas.
3.      Manajemen, proses ini merupakan tindak lanjut dari hasil penilaian kinerja. Pihak manajemen harus berorientasi ke masa depan untuk meningkatkan potensi pegawai di organisasi yang bersangkutan. Hal ini dapat dilakukan dengan pemberian umpan balik dan pembinaan untuk meningkatkan kinerja pegawainya.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli mengenai pengertian penilaian kinerja, terdapat benang merah yang dapat digunakan untuk menarik kesimpulan bahwa penilaian kinerja merupakan suatu sistem penilaian secara berkala terhadap kinerja pegawai yang mendukung kesuksesan organisasi atau yang terkait dengan pelaksanaan tugasnya. Proses penilaian dilakukan dengan membandingkan kinerja pegawai terhadap standar yang telah ditetapkan atau memperbandingkan kinerja antar pegawai yang memiliki kesamaan tugas.
2.2 Tujuan dan Manfaat Penilaian Kinerja
Penilaian kinerja mempunyai beberapa tujuan dan manfaat bagi organisasi dan pegawai yang dinilai, yaitu:
1.      Performance Improvement. Yaitu memungkinkan pegawai dan manajer untuk mengambil tindakan yang berhubungan dengan peningkatan kinerja.
2.      Compensation adjustment. Membantu para pengambil keputusan untuk menentukan siapa saja yang berhak menerima kenaikan gaji atau sebaliknya.
3.      Placement decision. Menentukan promosi, transfer, dan demotion.
4.      Training and development needs mengevaluasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan bagi pegawai agar kinerja mereka lebih optimal.
5.       Carrer planning and development. Memandu untuk menentukan jenis karir dan potensi karir yang dapat dicapai.
6.      Staffing process deficiencies. Mempengaruhi prosedur perekrutan pegawai.
7.      Informational inaccuracies and job-design errors. Membantu menjelaskan apa saja kesalahan yang telah terjadi dalam manajemen sumber daya manusia terutama di  bidang informasi job-analysis, job-design, dan sistem informasi manajemen sumber daya manusia.
8.      Equal employment opportunity. Menunjukkan bahwa placement decision tidak diskriminatif.
9.      External challenges. Kadang-kadang kinerja pegawai dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti keluarga, keuangan pribadi, kesehatan, dan lain-lainnya. Biasanya faktor ini tidak terlalu kelihatan, namun dengan melakukan penilaian kinerja, faktor-faktor eksternal ini akan kelihatan sehingga membantu departemen sumber daya manusia untuk memberikan bantuan bagi peningkatan kinerja pegawai.
10.  Feedback. Memberikan umpan balik bagi urusan kepegawaian maupun bagi pegawai itu sendiri.

2.3 Elemen Penilaian Kinerja
Ø  Performance Standard
Penilaian kinerja sangat membutuhkan standar yang jelas yang dijadikan tolok ukur atau patokan terhadap kinerja yang akan diukur. Standar yang dibuat tentu saja harus berhubungan dengan jenis pekerjaan yang akan diukur dan hasil yang diharapkan akan terlihat dengan adanya penilaian kinerja ini.
Ø  Kriteria Manajemen Kinerja (Criteria for Managerial Performance)
Kriteria penilaian kinerja dapat dilihat melalui beberapa dimensi, yaitu kegunaan fungsional (functional utility), keabsahan (validity), empiris (empirical base), sensitivitas (sensitivity), pengembangan sistematis (systematic development), dan kelayakan hukum (legal appropriateness).
Ø  Pengukuran Kinerja (Performance Measures)
Pengukuran kinerja dapat dilakukan dengan menggunakan sistem penilaian (rating) yang relevan. Rating tersebut harus mudah digunakan sesuai dengan yang akan diukur, dan mencerminkan hal-hal yang memang menentukan kinerja Werther dan Davis (1996:346). Pengukuran kinerja juga berarti membandingkan antara standar yang telah ditetapkan dengan kinerja sebenarnya yang terjadi. Pengukuran kinerja dapat bersifat subyektif atau obyektif. Obyektif berarti pengukuran kinerja dapat juga diterima, diukur oleh pihak lain selain yang melakukan penilaian dan bersifat kuantitatif. Sedangkan pengukuran yang bersifat subyektif berarti pengukuran yang berdasarkan pendapat pribadi atau standar pribadi orang yang melakukan penilaian dan sulit untuk diverifikasi oleh orang lain.
Ø  Analisa Data Pengukuran
Setelah menetapkan standar pengukuran, kemudian mulailah dikumpulkan data-data yang diperlukan. Data-data dapat dikumpulkan dengan melakukan wawancara, survei langsung, atau meneliti catatan pekerjaan dan lain sebagainya. Data-data tersebut dikumpulkan dan dianalisa apakah ada perbedaan antara standar kinerja dengan kinerja aktual.
Ø  Bias dan Tantangan dalam Penilaian Kinerja
Penilaian kinerja harus bebas dari diskriminasi. Apapun bentuk atau metode penilaian yang dilakukan oleh pihak manajemen harus adil, realistis, valid, dan relevan dengan jenis pekerjaan yang akan dinilai karena penilaian kinerja ini tidak hanya berkaitan dengan masalah prestasi semata, namun juga menyangkut masalah gaji, hubungan kerja, promosi/demosi, dan penempatan pegawai.



2.4 Metode Penilaian Kinerja
1. Rating Scales
Menilai kinerja pegawai dengan menggunakan skala untuk mengukur faktor-faktor kinerja (performance factor). Misalnya dalam mengukur tingkat inisiatif dan tanggung jawab pegawai. Skala yang digunakan adalah 1 sampai 5, yaitu 1 adalah yang terburuk dan 5 adalah yang terbaik. Jika tingkat inisiatif dan tanggung jawab pegawai tersebut biasa saja, maka ia diberi nilai 3 atau 4 dan begitu seterusnya untuk menilai faktor-faktor kinerja lainnya.
2. Critical Incidents
Evaluator mencatat mengenai apa saja perilaku/pencapaian terbaik dan terburuk (extremely good or bad behaviour) pegawai. Dalam metode ini, penilai harus menyimpan catatan tertulis tentang tindakan-tindakan atau prilaku kerja yang sangat positif (high favorable) dan perilaku kerja yang sangat negatif (high unfavorable) selama periode penilaian.
3. Essay
Evaluator menulis deskripsi mengenai kekuatan dan kelemahan karyawan, kinerjanya pada masa lalu, potensinya dan memberikan saran-saran untuk pengembangan pekerja tersebut. Metode ini cenderung lebih memusatkan perhatian pada perilaku ekstrim dalam tugas-tugas karyawan daripada pekerjaan atau kinerja rutin yang mereka lakukan dari hari ke hari. Penilaian seperti ini sangat tergantung kepada kemampuan menulis seorang penilai.
4. Work standard 
Metode ini membandingkan kinerja setiap karyawan dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya atau dengan tingkat keluaran yang diharapkan. Standar mencerminkan keluaran normal dari seorang pekerja yang berprestasi rata-rata, yang bekerja pada kecepatan atau kondisi normal. Agar standar ini dianggap objektif, para pekerja harus memahami secara jelas bagaimana standar yang ditetapkan.
5. Ranking
Penilai menempatkan seluruh pekerja dalam satu kelompok sesuai dengan peringkat yang disusun berdasarkan kinerja secara keseluruhan. Contohnya, pekerja terbaik dalam satu bagian diberi peringkat paling tinggi dan pekerja yang paling buruk prestasinya diletakkan di peringkat paling bawah. Kesulitan terjadi bila pekerja menunjukkan prestasi yang hampir sama atau sebanding.
6. Forced distribution 
Penilai harus “memasukkan” individu dari kelompok kerja ke dalam sejumlah kategori yang serupa dengan sebuah distribusi frekuensi normal. Contoh para pekerja yang termasuk ke dalam 10 persen terbaik ditempatkan ke dalam kategori tertinggi, 20 persen terbaik sesudahnya ke dalam kategori berikutnya, 40 persen berikutnya ke dalam kategori menengah, 20 persen sesudahnya ke dalam kategori berikutnya, dan 10 persen sisanya ke dalam kategori terendah. Bila sebuah departemen memiliki pekerja yang semuanya berprestasi istimewa, atasan “dipaksa” untuk memutuskan siapa yang harus dimasukan ke dalam kategori yang lebih rendah.
7. Behaviourally Anchored Rating Scales (BARS)
Evaluator menilai pegawai berdasarkan beberapa jenis perilaku kerja yang mencerminkan dimensi kinerja dan membuat skalanya. Misalnya penilaian pelayanan pelanggan. Bila pegawai bagian pelayanan pelanggan tidak menerima tip dari pelanggan, ia diberi skala 4 yang berarti kinerja lumayan. Bila pegawai itu membantu pelanggan yang kesulitan atau kebingungan, ia diberi skala 7 yang berarti kinerjanya memuaskan, dan seterusnya. Metode ini mendeskripsikan perilaku yang diharapkan sesuai dengan tingkat kinerja yang diharapkan.

2. 5 Masalah-Masalah dalam Penilaian Kinerja
1. Kurangnya objektivitas                      
Salah satu kelemahan metode penilain kinerja tradisional adalah kurangnya objektivitas. Dalam metode rating scale, misalnya, faktor-faktor yang lazim digunakan seperti sikap, loyalitas dan kepribadian adalah faktor-faktor yang sulit diukur. Penggunaan faktor-faktor yang terkait dengan pekerjaan (job related factors) dapat meningkatkan objektivitas.
2. Bias “Hallo error”
Bias “Hallo error” terjadi bila penilai mempersepsikan satu faktor sebagai kriteria yang paling penting dan memberikan penilaian umum baik atau buruk berdasarkan faktor tunggal ini.
3. Terlalu “longggar” terlalu “ketat
Penilai terlalu “longggar” (leniency) kecenderungan memberi nilai tinggi kepada yang tidak berhak, penilai memberi nilai lebih tinggi dari seharusnya. Penilai terlalu “ketat” (strictness) terlalu kritis atas kinerja seorang pekerja (terlalu “ketat” dalam memberikan nilai). Penilaian yang terlalu ketat biasanya terjadi bila manajer tidak mempunyai definisi atau batasan yang akurat tentang berbagai faktor penilaian.

4. Kecenderungan memberikan nilai tengah
Kecenderungan memberi nilai tengah (Central tendency), terjadi bila pekerja di beri nilai rata-rata secara tidak tepat atau di tengah-tengah skala penilaian, Biasanya, penilai memberi nilai tengah karena ingin menghindari kontroversi atau kritik.
5. Bias perilaku terbaru
Bias perilaku terbaru (recent behavior bias) , perilaku atau kinerja yang paling akhir akan lebih mudah diingat daripada perilaku yang telah lama. Penilai cenderung lebih banyak menilai kinerja yang tampak menjelang atau pada saat proses penilaian dilakukan. Seharusnya penilaian kinerja mencakup periode waktu tertentu.
6. Bias pribadi (stereotype)
Penyelia yang melakukan penilaian bisa saja memiliki bias yang berkaiatan dengan karakteristik pribadi pekerja seperti suku, agama, gender atau usia. Meskipun ada peraturan atau undang-undang yang melindugi pekerja, diskriminasi tetap menjadi masalah dalam penilain kinerja.

2.6 Study Kasus
Kinerja anggota kepolisian dinilai perlu dievaluasi. Ada warga mengatakan seharusnya label “Kami siap melayani anda” yang sering dilihat di kantor polisi berubah menjadi “Kami siap melayani anda jika dibayar”. Terlepas dari siapa warga tersebut, namun ini menjadi sebuah parameter tentang pelayanan yang diberikan oleh pihak kepolisian. Entah apapun yang pernah terjadi disana, tentunya para pembaca memiliki pengalaman pribadi mengenai hal ini.
Kondisi – kondisi seperti inilah bisa jadi yang membuat warga mulai kurang mempercayai kinerja polisi. Sehingga rasa enggan ataupun menghargai sudah mulai berkurang. Ingat sikap menghormati itu berbeda dengan sikap menghargai. Sikap hormat itu dilakukan pada saat berhadapan dengan polisi saja. Namun sikap menghargai itu, dimana pun orang bersangkutan berada meski tanpa mengenakan seragam dinas, dia akan tetap di hargai. Mungkin kasus penyerangan anak buah Hercules Rozario Marshal terhadap puluhan anggota kepolisian yang sedang melakukan apel di kawasan pembangunan ruko PT Tjakra Multi strategi di Srengseng, menjadi bukti juga bahwa polisi sudah mulai tidak dihormati lagi. “Mereka (anak buah Hercule) sudah berani melawan petugas kepolisian yang sedang melaksanakan apel, itu keterlaluan sekali. Hal itu menandakan bahwa citra polisi dimata masyarakat sudah turun,” kata Kisnu WIdakso yang seorang kriminolog UI.
Ditambah lagi sering munculnya kasus – kasus yang semakin memperburuk citra polisi di media – media nasional. Seperti kasus korupsi simulator SIM oleh Djoko Susilo yang dari level atas, bahkan sampai pada level – level bawah. Seperti kasus rekaman di youtube yang terjadi pada kasus seorang polisi di Bali yang menilang seorang turis Belanda ketika tidak memakai helm. Polisi tersebut meminta uang sebesar Rp. 200.000, yang kemudian diajak minum bir. Polisi tersebut mengatakan kepada si turis bahwa 100.000 untuk beli bird an 100.000 untuk pemerintah saya.
Komentar – komentar pun banyak dilontarkan dari Negara lain, termasuk Negara kita juga. Anda mungkin bisa melihat sendiri apa isi – isi komentarnya. Itu mungkin hanya sekelumit kasus yang bisa diabadikan dalam dunia digital, selebihnya anda bisa melihat kondisi rill disekitar anda. Polisi Indonesia juga banyak yang memiliki berat badan berlebih, jauh berbeda dengan polisi di luar negeri yang masih memiliki berat ideal meski sudah tua. “Kalau berat badan sudah berlebih, lalu bagaimana nanti kalau mengejar pencuri”, tukas seorang warga.
Komisi Oang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mengatakan, Presiden Joko Widodo harus membenahi institusi polisi. Menurut Kontras, sikap polisi terhadap masyarakat tidak mencerminkan keamanan dan mengayomi. Kordinator Kontras Haris Azwar menegaskan, polisi saat ini seolah menjadi institusi yang menyeramkan, khususnya bagi orang dengan ekonomi rendah.  "Sekarang banyak orang tidak ingin berurusan dengan polisi karena mereka takut dan tidak mau ribet," katanya dalam sebuah diskusi di Cikini, Jakarta Selasa (4/11).
Padahal, kata Haris, tugas Polri yang tertera pada Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Polri mencakup tiga dasar, yaitu melakukan penegakan hukum, pelayanan publik, dan menjaga ketertiban . "Tiga tugas ini jadi menarik karena kalau di lapangan polisi sering melakukan penegakan hukum tapi juga memunculkan rasa ketidakamanan," ungkapnya. Menurutnya, banyak masyarakat yang berurusan dengan polisi tetapi malah makin suram. "Problem polisi di lapangan kurang baik itu berasa saat di polres dan polsek. Karena jika sudah ditingkat polda dan mabes cenderung lebih baik berkomunikasi," kata Haris.
Haris mencontohkan diskriminasi di kepolisian dengan membandingkan kasus perjudian yang pasti ditindak dan bahkan akan ada yang ditembak jika berusaha kabur. Tapi, tidak dilaksanakan pada kasus kecelakaan yang melibatkan anak Ketua Partai Amanat Nasional (PAN) Hatta Radjasa. Bahkan, menurutnya, anaknya Hatta tidak dijerat hukum sedikit pun, dan dia bisa kembali melanjutkan sekolahnya di luar negeri. "Jadi ada dikriminasi pada kelas rendah yang secara sisi ekonomi kurang dan tidak punya keberanian menantang proses hukum. Itu hanya akan jadi bantal pukul-pukulan polisi saja," katanya. Apalagi, lanjut Haris, jika kasus diambil oleh polda, masalah akan lebih rumit. "Jika tidak mempunyai backingan setingkat polda atau tidak punya uang sogokan besar, lupakan saja untuk diurusi dengan layak," katanya.
Selain itu, masalah lain yang dinilai oleh Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), menilai kinerja Polri dalam penegakan hukum dan HAM masih belum memuaskan. Menurut Kontras banyak proses penyelidikan kasus yang ditangani polisi tidak menjunjung tinggi penghormatan kepada HAM. Kordinator Kontras, Haris Azhar mengatakan jika polisi tidak melakukan prosedur hukum dengan baik akan berpotensi mengkriminalsasi masyarakat dan mengaburkan fakta-fakta yang seaungguhnya terjadi.
Haris mencontohkan, tentang penanganan kasus Jakarta Internasional School (JIS) yang melibatkan enam petugas kebersihan sekolah. Menurutnya, kasus tersebut merupakan bentuk kearoganan polisi. Karena dalam proses penyidikan di Polda Metri Jaya, para tersangka mengalami sejumlah tekanan dan penyiksaan. "Bahkan, salah seorang tersangka, yaitu Azwar akhirnya meninggal dalam tahanan," kata Haris pada diskusi yang dilaksanakan di kedai Tjikini, Jakarta, Selasa (4/11). Meski, polisi mengatakan bahwa Azwar melakukan aksi bunuh diri saat izin ke toilet dengan menenggak cairan pembersih saat pembuatan BAP. Namun kejadian tersebut tetap janggal karena, menurut kesaksian tidak ada seorangpun izin selama proses interogasi berlangsung. "Selain itu, banyak luka lebam pada tubuh korban, yang diakui para keluarga korban merupakan luka akibat dipukuli polisi saat interogasi," ujarnya.
Kasus seperti ini, lanjut Haris menunjukan bahwa aparat polisi terbukti masih belum kerja secara profesional. Selain itu, polisi masih belum menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai penegak hukum. "Karena masih melakukan pendekatan kekerasan serta tidak cermat dalam memberikan penghukuman sehingga berpotensi mengkriminalisasikan warga," katanya.


BAB III
PENUTUP


3.1 Kesimpulan
Penilaian kinerja adalah kegiatan menajer untuk mengevaluasi perilaku prestasi kerja karyawan serta menetapkan kebijakan selanjutnya.  Penilaian perilaku meliputi penilaian kesetiaan, kejujuran, kepemimpinan, kerja sama, loyalitas, dedikasi, dan partisipasi karyawan. Menilai perilaku ini sulit karena tidak ada standar fisiknya, sedangkan untuk penilaian hasil kerja relatif lebih mudah karena ada stndar fisik yang dapat dipakai sebagai tolak ukurnya, seperti meter, liter, dan kilogram. Aspek penting dari suatu sistem penilaian kerja adalah memiliki standar yang jelas. Sasaran utama dari adanya standar tersebit ialah teridentifikasinya unsur-unsur krital suatu pekerjaaan. Standar itulah yang merupakan tolak ukur seseorang melakukan pekerjaannya.


DAFTAR PUSTAKA

Hasibuan, Melayu. 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara
Sutrisno, Edy. 2009.Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.